Friday, May 26, 2017

Hylocereus megalanthus, Buah Naga

I.              KLASIFIKASI
Klasifikasi dari buah naga kuning adalah:
Kingdom   : Plantae
Phylum      : Tracheophyta                                               
Class          : Magnoliopsida
Order         : Caryophyllales
Family       : Cactaceae
Genus        : Hylocereus
Species      : Hylocereus megalanthus
II.           NAMA LOKAL
Hylocereus megalanthus memiliki basionim “Cereus megalanthus”, dan sinonimnya adalah “Selenicereus megalanthus, Mediocactus megalanthus, dan Cereus megalanthus”.
      Hylocereus megalanthus memiliki common names berupa: yellow pitahaya, yellow dragonfruit, pitahaya, strawberry pear, night blooming cereus  dan pitaya dalam bahasa inggris.
III.        DESKRIPSI JASAD
1.      Perawakan
Berisi deskripsi perawakan  (organoleptik batang, lama hidup, bentuk hidup, tempat dan tatacara hidup, warna tajuk, dan ukuran) dsb
Hylocereus megalanthus merupakan tumbuhan sukulen, hidup dengan cara memanjat dan percabangannya akan tumbuh menempel di pohon ataupun tumbuh di tanah.

2.      Akar           
Akar berupa aerial root yang dapat mensuport tumbuhan untuk melekat ke substrat atau memanjat.
3.      Batang
         H. megalanthus tumbuh cepat, perennial, terestrial, epifit dan tumbuh merambat. Batang berbentuk segitiga, walaupun terkadang bisa berbentuk 4-5 bagian dengan warna hijau, batang berdaging/ flashy, dengan bagian seperti bersendi dengan banyak percabangan batang. Setiap segmen batang memiliki 3 susunan dengan bergelombang, tulang  dengan margin corneous serta 1-3 duri kecil atau malah tidak berduri sama-sekali. Batang dapat tumbuh mencapai 6,1 m (Crane & Balerdi, 2016).
4.      Daun
         Daun pada tumbuhan ini telah mereduksi menjadi duri.
5.      Bunga
Bunga H. megalanthus termasuk hermaphroditic, dapat dimakan, warna putih dengan ukuran besar berbentuk bell. Ukuran bunga panjang 14 inci dan lebar 9 inci. Stamen dan stigma berlobus dengan warna krim.  Bunga mekar pada malam hari (Balerdi & Crane, tanpa tahun).
6.      Buah
         Buah berbentuk bulat dengan panjang 12 cm dan lebar 7 cm. Buah yang belum matang memiliki lapisan duri tipis yang selanjutnya menghilang setelah buah masak (Fern, 2017). Buahnya memiliki bobot kurang dari 250 gram.
7.      Biji
         Biji berukuran sangat kecil dan berjumlah banyak. Biji berwarna hitam yang tertanam dalam pulp warna putih (Crane & Balerdi, 2016).
A.    INFORMASI TAMBAHAN
1.      Asal Usul
H. megalanthus berasal dari daerah tropis benua Amerika, seperti: Meksiko bagian selatan, Guatemala bagian Pasifik, Kosta Rika, El Salvador, Venezuela, Kolombia, Ekuador, Curacao, Panama, Brazil dan Uruguay.
2.      Wilayah agihan geografi
Hylocereus megalanthus terdistribusi di Kolombia, Peru, Ekuador, dan Bolivia (Ostalaza & Loaiza, 2013). H. megalanthus sekarang terdistribusi dari daerah Tropis dan Subtropis, seperti: Florida Selatan, Karibia, Hawaii, Asia, Australia, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Israel (Crane & Balerdi, 2016).
3.      Data Ekologi
Hylocereus megalanthus tumbuh pada ketinggian 0-1800 m (Ostalaza & Loaiza, 2013). Hylocereus megalanthus hidup di daerah pegununan dan perumahan yang lembab. Tumbuhan ini dapat mentolerasnsi temperatur tinggi, walaupun juga mampu hidup di suhu rendah seperti 0°C. Hylocereus megalanthus tumbuh dengan kondisi tanah yang terdrainasi baik dengan pH 6 ataupun lebih rendah (Fern, 2017). H. megalanthus dapat mentoleransi naungan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari ekstrim
4.      Keragaman yang telah terdeteksi
5.      Informasi Fitokimia
H. megalanthus mengandung air, protein, lemak, fiber, kalsium, abu, fosfor, besi, niacin dan vitamin C.
6.      Perbanyakan
Hylocereus megalanthus diperbanyak dengan biji maupun stek batang (Fern, 2017). Stek batang dilakukan dengan ukuran batang 12-38 cm, yang diberi fungisida dan dibiarkan selama 7-8 hari dalam keadaan kering dan dengan naungan yang selanjutnya ditanam langsung ke kebun ataupun atau dalam pot yang terdrainasi dengan baik.
7.      Manfaat tradisional dan modern
Hylocereus megalanthus dikultivasi sebagai makanan di Kolombia dan Ekuador, yang selanjutnya dieksport sampai ke Amerika Serikat serta Eropa.
8.      Masa Panen

      H. megalanthus dapat dipanen setelah berumur 3-4 tahun yang menghasilkan buah mencapai 100 kg pertahun, dan diperkirakan tumbuhan ini dapat hidup sampai 20 tahun.


 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Selenicereus megalanthus (K. Schum... http://www.gbif.org/species/3942259. Diakses pada 2 Mei 2017 pukul 18.59.
Anonim. Selenicereus megalanthus. http://www.gbif.org/species/3944769. Diakses pada 2 Mei 2017 pukul 18.59.
Ostalaza, C. and C. Loazia. 2013. Hylocereus megalanthus. http://www.iucnredlist.org/details/152619/0. Diakses pada 20 Mei 2017 pukul 20.09.
Fern, K. 2017. Hylocereus megalanthus. http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?id=Hylocereus+megalanthus. Diakses pada 21 Mei 2017 pukul 09.19.
Crane, J. H. and C. F. Balerdi. 2016. Pitaya Growing in the Florida Home Landscape. IFAS Extension University of Florida. Florida.
Balerdi, C. F. And J.Crane. Tanpa Tahun. The Pitaya (Hylocereus megalanthus) in Florida. University of Florida IFAS EXTENSION.
Jaya, I. K. D. 2010. Morphology and Physiology of Pitaya and it Future Prospects in Indonesia. Crop Agro. 3 (1): 44-50.

Thursday, February 9, 2017

Efek Cahaya pada Germinansi

Efek Cahaya pada Germinansi
Respon biji pada cahaya penting untuk mencegah peristiwa germinasi pada tempat dan waktu yang tak tepat untuk perkembangan seedling (Fenner and Thompson, 2005). Dengan demikian biji memiliki kemampuan untuk mendeteksi aspek cahaya di lingkungan dan mengendalikan tempat dan waktu yang tepat untuk germinasi (Fenner and Thompson, 2005). Menurut Lambers et al., (2008), respon cahaya terhadap germinasi terbagi menjadi 3 tipe. Pertama, cahaya dibutuhkan untuk germminasi biji yang terkubur dalam tanah. biji yang terkubur sangat dalam pada tanah tak dapat bergerminasi karena tak terkena cahaya. Tipe kedua berupa intensitas dan durasi terpapar cahaya akan mematahkan dormansi yang terjadi karena tak adanya cahaya. Tipe ketiga adalah komposisi spektra cahaya akibat modifikasi oleh daun pada kanopi yang terpengaruh oleh germinasi setelah gangguan pada vegetasi.
Kesempatan kesuksesan pembentukkan germinasi ditentukan dengan biji yang terkubur kedalam tanah atau berada di permukaan (Fenner and Thompson, 2005). Apabila biji berada terkubur ditanah, kedalaman menjadi krusial untuk kemunculannya (Fenner and Thompson, 2005).  Kedalaman tanah menjadi hal yang  krusial untuk kemunculan kecambah dengan kondisi biji terkubur (Fenner and Thompson, 2005). Sedangkan bila biji berada di permukaan tanah, tingkat naungan (terutama disekeliling vegetasi) menjadi unsur krusial (Fenner and Thompson, 2005).
Biji yang berada di permukaan tanah akan mengalami kondisi intensitas cahaya yang tinggi akibat terpaar cahaya matahari yang kuat. Sensitivitas pada irradiasi tinggi menyeduiakan mekanisme untuk mereduksi probabilitas kematian seedling akibat temperatur tinggi dan kondisi kekeringan yang terjadi di permukaan tanah.
            Kebutuhan akan cahaya pada biji berguna untuk mendeteksi adanya gap. Secara umum gangguan pada tanah terjadi bersama dengan kerusakan bentuk vegetasi dan merupakan indikator yang baik untuk mereduksi kompetisi dengan menentukan tumbuhan.
            Biji akan mendeteksi cahaya yang berintensitas rendah dengan fitokrom A. Fitokrom A ini akan mempercepat germinasi biji dengan menginduksi kebutuhan cahaya (Fenner and Thompson, 2005). Selain itu, fitokrom a dikenal memiliki respon sangat rendah pada fluence dan terlibat range panjang gelombang yang luas saat densitas fluks foton rendah. Pengembalian bentuk fitokrom b secara spontan dan gradual dari menaikkan proses germinasi menjadi penghambat germinasi dari beberapa jam di dalam kegelapan juga menyediakan mekanisme jam panjang hari dapat terdeteksi.
            Cahaya bereaksi melalui efek temperatur, terutama temperatur alternatif yang dibutuhkan biji untuk germinasi (Luttge, 2008). Germinasi akan diregulasi oleh kualitas cahaya dan sistem fitokrom daripada  dengan intensitas cahaya (Luttge, 2008).

Sumber:
Fenner, M. And K. Thompson. 2005. The Ecology of Seed. Cambrige University Press. Cambridge. p. 116, 117, 120
Lambers, H., T. L. Pons, and F. S. Chapin III. 2008. Plant physiological ecology. Springer. New York. p. 380
Luttge, U. 2008. Physiological ecology of tropical plants. 2nd ed. Springer. Berlin. P. 139

Ponsp, T. L. 2000. Seeds Responses to Light. p. 249. Dalam M. Fenner. Seeds The Ecology of Regeneration in Plant Communities. 2nd Ed. CABI.  London.

Corcyra cephalonica

Corcyra cephalonica
Corcyra cephalonica merupakan serangga hama yang hidup di gudang yang biasa kita kenal sebagai ulat beras (Herlinda et al., 2005).
a.       Manfaat
Corcyra cephalonica sering digunakan sebagai inang pengganti unuk memperbanyak serangga lain (Herlinda et al., 2005). Serangga ini memiliki kelebihan sebagai inang pengganti karena memiliki telur yang besar sehingga memiliki nutrisi yang cukup untuk parasitoidnya serta mudah didapatkan dengan bahan seperti padi, terigu, tepung jagung dan dedak (Herlinda et al., 2005). Selain itu Corcyra cephalonica memproduksi telur dan larva dengan menggunakan biaya yang murah dan cara yang mudah (Bhandari, et al., 2014). Serangga ini dapat digunakan sebagai host telur Trichogramma  yang akan direaring untuk mengkontrol hama, Chelonus blackburni, parasitoid larva, Bracon spp., dan lainnya (Bhandari, et al., 2014)..
b.       Reproduksi
Serangga betina akan dapat memproduksi telur mencapai 90- 200 butir dengan life span 2-4 hari (Bhargava and Kumawat, 2010). Telur yang dihasilkan memiliki bentuk oval dan elips dengan ukuran yang kecil beripa 0,5 x 0,3 mm (Bhargava and Kumawat, 2010). Telur selanjutnya akan menetas setelah 4-7 minggu menjadi larva (Bhargava and Kumawat, 2010). Larva ini akan memakan dibawah silken cocon untuk 8-10 hari yang selanjutnya akan menjadi ngengat. Setiap perkembangan satu generasi membutuhkan 4-7 minggu dan dalam satu tahun dapat memproduksi 4-5 generasi (Bhargava and Kumawat, 2010). Imago dapat hidup selama 10 hari. Siklus hidup serangga ini optimal pada suhu 30-32,5⁰C dan RH 70% (Anonim, 2015).


Daftar Pustaka:
Anonim. 2015. Teknologi Produksi Benih: Hama pada Benih. Bp.ub.ac.id/breeding/wp-content/upload/2015/05/9.-Hama-Benih.pdf. Akses pada tanggal 10 Agustus 2015 pukul 14.13
Bhandari, G., R. B. Thapa., S. Tiwari, and G. S. Bhandari. 2014. Reproductive biology study of Corcyra cephalonica (Stainton) under laboratory condition in Chitwan, Nepal.  Journal of Innovative Biology. 1(4): 206-209.
Bhargava, M. C. And K. C. Kumawat. 2010. Pests of Stored Grains and Their Management. New India Publishing. New Delhi. P. 63-64.

Herlinda, S., A. Ekawati, dan Y. Pujiastuti. 2005. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Corcyra cephalonica (STAINTON) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA MEDIA LOKAL: PENGAWASAN MUTU INANG PENGGANTI. Jurnal Agrikultura. 16(3):153-159.

Teori sejarah kehidupan:

Teori sejarah kehidupan:
1.      Teori transformisme
Ridley (2004) dalam buku Evolution 3rd Ed  menyatakan bahwa teori transformisme merupakan pendapat Lamarck yang menyatakan bahwa spesies berubah setiap waktu membentuk spesies baru. Prinsip pertama dalam teori ini adalah internal force, sebuah mekanisme yang tidak diketahui pada organisme dan menghasilkan anakan yang berbeda dari indukannya. Prinsip kedua adalah karakter yang diperoleh dalam rangka adaptasi  diturunkan ke anakan.
2.      Teori penciptaan terpisah
Penganut teori ini beranggapan bahwa makhluk hidup diciptakan secara terpisah dan tidak berubah-ubah. Teori ini juga terkenal dengan istilah special creation dan konsisiten dengan kitab Injil dalam hal asal serta perkembangan kehidupan (Fried and Hademenos, 1999).
3.      Teori evolusi
Menurut Campbell et al., (2012) evolusi merupakan penurunan dari orang tua ke anak dan terjadi modifikasi. Modifikasi ini terjadi karena berubahnya komponen genetik populasi dari generasi ke generasi. Perubahan dari generasi ke generasi diungkapkan dengan data dari berbagai displin ilmu, seperti biologi, kimia, geologi, dan fisika.
4.      Teori kehidupan menurut kitab suci
Kitab Perjanjian Lama menyatakan bahwa spesies dibuat sedemikian rupa satu persatu oleh Tuhan sehingga makhluk yang tercipta sempurna (Campbell et al., 2012).
Pembagian evolusi berdasarkan:
1.      Kecepatan
a.       Quasi
b.      Quantum
Quantum evolusi adalah komponen teori multi tempo pada perubahan dalam evolusi,  menjelaskan tentang perubahan cepat dan muncul pada anggora taksonomi tingkat tinggi. Menurut Simpson, laju evolusi berbeda dari group satu ke group lain, walaupun masih memiliki hubungan kedekatan (Kardong, 2017).
2.      Proses
a.       Gradual
Spesiasi secara gradual terjadi dengan perubahan kecil pada suatu organisme sedikit demi sedikit dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit (Postlethwait and Hopson,2006)
b.      Punctual
Perubahan anakan yang sangat berbeda dengan indukkan dengan jangka waktu lama. (Postlethwait and Hopson,2006).
c.       Saltasi
Saltasi merupakan perubahan yang muncul pada satu sampai beberapa generasi pada organisme (Theissen, 2009).
.
DARTAR PUSTAKA
Campbell,  N. A., J. B. Reece, L. A. Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman, P. V. Minorsky, & R. B. Jackson. 2012. Biologi Edisi 8 Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Hal. 4-5
Fried, G. And G. J. Hademenos. 1999. Schaum’s Outline of Theory and Problems of Biology. McGraw-Hill Professional. New York. P. 6-7
 G,  Theissen .2009. Saltational evolution: hopeful monsters are here to stay. .https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19224263. Diakses pada 7 Febuari 2017 pukul 21.34
Kardong, K. V. 2017.  Introduction to Biological Evolution. Cram 101 Textbook Reviews.
Postlethwait, J. H. & J. L. Hopson. 2006. Modern biology. Holt, Rinehart and Winston. New York. p. 330.

Ridley, M. 2004. Evolution 3rd Ed. Blackwell Publishing.Oxford. p. 7