Monday, May 28, 2018

latihan uas fisiologi tumbuhan biogama

Kuis Fisiologi Tumbuhan
Pertumbuhan dan perkembangan
1.      Diferensiasi
Perubahan sel membentuk organ dengan struktur dan fungsi yang berbeda.
2.      Biological clock
3.      Ritme sirkadia
Siklus 24 jam yang tidak dikontrol oleh variabel lingkungan. Contohnya adalah denyut nadi, laju pembelahan sel,  laju metabolisme dan sebagainya.
4.      Jam biologis
Penghitung waktu internal yang mengendalikan ritem biologi. Jam biologis ini dapat menggunakan penanda lingkungan maupun tidak, tapi memerlukan sinyal lingkungan. Contohnya adalah gerak naikknya daun polong.

Bunga, biji, buah
1.      Buah klimaterik
Buah yang saatpematangannya mengalami kenaikan respirasi sebagai respon terhadap gas etilen. Misalnya pisang, alpukat, mangga
2.      Buah nonklimaterik
Buah yang tak megalami kenaikan respirasi saat proses pematangannya. Contohnya anggur, nanas, dan jeruk.
3.      Vivipari
Pertumbuhan embrio saat biji dan buah masih di pohon
4.      Vernalisasi
Pemberian perlakuan suhu untuk membuat tumbuhan berbunga
5.      Short day plant
Tumbuhan yang memerlukan cahaya lebih pendek dari panjang kritis untuk berbunga. Contohnya adalah dahlia, sorgum, stroberi, violet, dll.
6.      Long day plant
Tumbuhan yang memerlukan cahaya lebih panjang dari panjang kritis untuk berbunga. Misalnya adalah bayam, wheat, kentang, dan sebagainya.
7.      Faktor yang mempengaruhi pembungaan
Faktor internal terdiri atas hormon dan gen. Hormon pertumbuhan seperti giberelin, auksin dan sitokinin dengan komposisi rasio yang tepat akan memacu pembungaan. Sitokinin akan memacu pembentukkan kuncup bunga, girelin memacu pembungaan tumbuhan, dan auksin memacu pemanjangan ujung tumbuhan. Gen tertentu akan menentukan dan mengatur fase vegetatif dan fase reproduksi yang akan mengatur pembungaan.
Faktor eksternal terdiri dari suhu, kelembaban, cahaya, dan nutrien. Fluktuasi suhu malam-siang hari akan menginisiasi pembungaan. Kelembaban mengatur metabolisme tumbuhan serta suhu, sehingga kelembaban yang tepat akan memacu pembungaan. Cahaya memacu pembungaan dengan cara intensitas cahaya dan fotoperiodisitas.  Nutrien dengan komposisi yang tepat akan memacu pembungaan, dengan rasio karbon/protein ideal tercapai
8.      Inkompatibilitas
Polen berasal dari jenis lain sehingga tidak terbentuk buluh sari. Inkompatibilitas sendiri terdiri dari sporophytic self-incompatibility, yaitu jika ales s tumbuhan yang menghasilkan polen tidak sama pada tumbuhan penerima; dan gametophytic self-incompatibility pembentukan buluh sari tidak terbentuk karena degradasi RNA pada stilus penerima polen.
9.      Kompatibilitas
Polen berasal dari jenis yang sama dan terbentuk buluh sari.

HORMON
10.   Kriteria hormon
Substansi organik yang diproduksi dalam jumlah sedikit. Lokasi pembuatan enzim dan tempat berfungsinya enzim berbeda, sehingga harus ditransport ke lokasi yang menghasilkan efek spesifik.  
11.   Sitokinin sintetik
BAP, 6-Fenil amino purine, dan 6-benzil amino purine, CPPU
12.   Auksin sintetik
NAA; 2,4-D; dan MCPA
13.   Fungsi auksin
Merangsang pemanjangan batang, mendorong pembentukan akar lateral dan adventisia, meregulasi perkembangan buah, memperlambar abisisi daun
14.   Giberelin fungsi
Merangsang pemanjangan batang; pertumbuhan buah; perkembangan polen dan tabung polen; perkembangan da germinasi biji; memecah dormansi biji.
15.   Sintetis etilen
Metionin ditambahkan ATP dan air sehingga kehilangan 3 gugus fosfat dan SAM. SAM dengan bantuan ACC sintase menghasilkan ACC. ACC dioksidasi dan terbentuk etilen.
Cekaman
1.      Mekanisme tumbuhan dalam cekamaan genangan air
Tumbuhan menghasilkan etilen yang akan mematikan beberapa sel di korteks akar sehingga terbentuk tabung udara yang menyediakan oksigen bagi akar.
2.      Stress avoidence
Tumbuhan yang mampu menghindari stress. Misalnya pengguguran daun saat musim dingin; siklus hidup singkat saat lingkungan tak mendukung; mereduksi daun, kutikula tebal pada katkus, penetrasi akar sampai ke water table; dan sebagainya.
3.      Stress toleransi 
Mekanisme tumbuhan dalam mempertahankan kehidupannya dari stres. Misal ressurection plants
Senescene
1.      Senescene
Kematian sel/organ/seluruh tubuh tumbuhan yang terprogram.
2.      Faktor
Kompetisi antara organ vegetatif dan generatif. Hormon seperti auksin yang menurun dan naiknya etilen memicu senescene.
Dormansi
1.      Macam dormansi
Coat-imposed dormancy, dormansi karena kulit biji atau jaringan peindung lainnya sehingga terjadi hambatan penyerapan air dan pertukaran gas atau terhambatnya penembusan kulit biji oleh radikula.
Internal/embrio dormansi merupakan dormansi karena kondisi fisiologi yang menunda perkecambahan. Contohnya adalah embrio yang belum berkembang penuh saat biji berpisah dari tumbuhan.
2.      Pemecahan dormansi
Scarifiaction dengan cara mekanik dilakukan dengan membuat goresan dengan amplas akan meningkatkan germinasi. Scarifiaction menggunakan bahan kimia akan meningkatkan perkecambahan biji

Bidlack, J. E. and S. H. Jansky. 2008. Stern’s Introductory Plant Biology 12th Ed. McGraw Hill. New York. P. 145, 194, 197, 206
Campbell,  N. A., J. B. Reece, L. A. Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman, P. V. Minorsky, & R. B. Jackson. 2012. Biologi. Erlangga. Jakarta. Hal. 416, 428, 430 435, A-16
Rachmawati, D., M. Nasir, Sudjino, dan K. Dewi. 2009. Bahan Ajar Fisiologi Tumbuhan. Fauktas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal. 63, 86, 100, 123-124, 128-129
Sadeghi, S., Z. Y. Ashrafi, M. F. Tabatabai, and H. M. Alizade. 2009. Study Methods of Dormancy Breaking and Germination of Common Madder (Rubia tinctorum L.) Seed in Laboratory Conditions. Botany Research International. 2(1):7-10.



Sunday, February 25, 2018

DISTRIBUSI DAN KEMELIMPAHAN MAKROALGA

DISTRIBUSI DAN KEMELIMPAHAN MAKROALGA


 Latar Belakang
Pantai Porok adalah salah satu pantai pada sebelah selatan pulau jawa. Pantai Porok merupakan pantai yang masuk wilayah Gunung Kidiul, DIY (8°08’02.73”S 110°33’17.47”T). Daerah Gunung Kidul sendiri dikenal sebagai wilayah karst dengan pantai yang sering ditemukan gua kapur dan pulau-pulau karang (Kusumawardhani, 2008). Daerah yang demikian memungkinkan kehidupan algae
Alga merupakan organisme yang dapat hidup di perairan dan daratan. Secara umum alga hidup di perairan, baik perairan tawar maupun saline. Alga dapat hidup di zona intertidal dengan melekat pada substrat atau melekar pada organisme lain. Alga yang hidup di daerah intertidal dapat berupa alga merah, hijau dan coklat.
Zona intertidal merupakan zona yang mengalami pasang-surut. Zona ini akan memiliki kadar salinitas yang sangat bervariasi karena pasang-surut tersebut. Kadar salinitas yang bervariasi akan direspon oleh alga makro maupun mikro sehingga organisme tersebut dapat bertahan hidup. Pasang-surut akan memberikan niche yang banyak sehingga organisme merespon dan menempatinya sesuai dengan kemampuan organisme tersebut. 

  I.                                    Tinjauan Pustaka


Secara umum makroalga dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan pigmentasinya, yaitu: Chlorophyta (algae hijau), Phaeophyta (algae coklat), dan Rhodophyta (algae merah) (Haryatfrehni, et al., 2015). Chlorophyta  merupakan alga yang memiliki pigmen dominan chl a dan chl b (Haryatfrehni, et al., 2015). Cadangan makanan yang dibentuk berupa pati. Komponen dinding selnya berupa polisakarida serta selulosa. Phaeophyta memiliki pigmen dominan chl a dan pikobilin (Haryatfrehni, et al., 2015). Pigmen fucoxanthin ini yang memberikan warna coklat. Simpanan makanannya berupa laminarin. Dinding selnya terdiri dari selulosa dengan asam alginic. Algae coklat secara umum merupakan organisme laut termasuk rumput laut dan kelps. Holdfast pada algae coklat berfungsi sebagai pelekat pada dasar laut. Stipe merupakan bagian algae yang mirip batang. Blade pada algae coklat merupakan bagian tubuh yang mirip dengan daun. Rhodophyta memiliki pigmen dominan dan fukosiantin dan chl c (Haryatfrehni, et al., 2015). Talus dari algae merah berbentuk filamen yang bercabang serta membentuk pola sulaman, dan memiliki holdfast yang merupakan dasar dari talus. Algae merah tidak memiliki flagela dalam siklus hidupnya sehingga bergantung pada arus air dalam penyatuan gamet saat fertilisasi. Simpanan makanan dari algae merah disimpan dalam bentuk pati. Komposisi dinding selnya berupa selulosa/pektin dengan banyak kalsium karbonat. Pigmen  yang berbeda pada ketiga alga tersebut merupakan hasil adaptasi lingkungan yang dibutuhkan untuk menangkap cahaya matahari pada kedalaman yang berbeda sehingga alga dapat melaksanakan fotosintesis (Haryatfrehni, et al., 2015).
Menurut penelitian Haryatfrehni, et al., (2015), makroalgae yang ditemukan pada pantai Porok berupa: Ulva fasciata, Chaetomorpha crassa, Enteromorpha intestinalis, Gracilaria verrucosa, Acanthophora spicifera, dan Laurencia cartilagine.
Distribusi dan kemelimpahan makroalgae dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Diaz (2008) dalam Setphani dkk., (2014) faktor yang mempengaruhi berupa: cahaya, karbondioksida, mineral nutrien, susbtrat, suhu, salinitas, pergerakan air, dan interaksi biologis.
Daerah intertidal merupakan daerah yang memiliki variasi lingkungan. Hal ini terjadi karena lingkungan yang tergenang dan terbuka secara bergantian sehingga komunitas hewan dan tumbuhan khas berkembang  (Setphani dkk., 2014). Daerah pasang-surut, sangat terpengaruh oleh paparan sinar matahari yang akan mempengaruhi makroalga. Sinar matahari mempengaruhi alga dalam hal proses fotosintesis (Nurmiyati, 2013)
Dari kedua hasil total presen penutupan dan presen penutupan alga yang paling banyak adalah Chaetomorpha sp. Chaetomorpha sp. merupakan anggota dari Chlorophyta dan termasuk alga epifit (Haryatfrehni, et al., 2015). Menurut Haryatfrehni, et al., (2015) alga ini dapat mengambil nutrien dari organisme lain. Morfologi Chaetomorpha sp. yang mirip benang kusut membuatnya dapat hidup secara epifit pada makroalga lain juga pada karang-karang mati (Setphani dkk., 2014). bentuk talus dan cara hidup yang epifit pada Chaetomorpha sp. membuatnya mudah tumbuh karena dapat mengkaitkan dirinya pada mikroalgae lain  serta didukung oleh suhu air yang hangat. Suhu air yang hangat ini terjadi karena intensitas cahaya tinggi, dan hal tersebut mendukung fotosintesis. Susbtrat dominan berupa batu mendukung perkembangan alga karena substrat ini mengandung banyak oksigen, persediaan makan yang baik dan menyediakan tempat yang baik untuk berlindung.  Chaetomorpha sp. dimanfaatkan oleh petani rumput laut di da.erah Kukup sampai Sundak (Kusumawardhani, 2008)
Gracillaria sp. merupakan salah satu anggota Rhodophyta. Hasil total presen penutupan dan presen penutupan alga yang paling rendah adalah Gracillaria sp. dapat terjadi karena Rhodophyta substratnya tidak cocok. Rhodophyta dapat tumbuh dengan baik dan mendominasi ketika berada di substrat karang mati serta kecepatan arus yang stabil  (Setphani dkk., 2014). Dengan demikian, kemelimpahan Gracillaria sp. rendah karena lokasi sampling berada di zona intertidal yang merupakan zona pasang-surut. Gracillaria sp. hidup dengan melekat pada substrat batu, pasir, lumpur dan sebagainya. Spesies ini hidup di daerah perairan tenang dan memiliki toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas yang besar. Selain itu, Gracillaria sp. menyukai tempat tinggal dengan intensitas cahaya tinggi dan temperatur optimumnya 20-28° C. Dengan temperatur optimalnya 20-28° C, sedangkan temperatur di lokasi 30-32°C Gracillaria sp. tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga totap persen penutupannya paling rendah dari keseluruhan makroalgae yang ditemukan. Selain faktor suhu, faktor salinitas yang berubah-ubah mempengaruhi penutupannya.  Gracillaria sp.  termasuk stenohaline yang merupakan organisme yang tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas tinggi (Amalia, 2013). Gracillaria sp. juga dimanfaatkan oleh petani rumput laut (Kusumawardhani, 2008).
Divisi Chlorophyta memiliki penutupan lokasi paling besar dari kedua divisi lainnya.
Pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: sumber nutrien,  sumber karbon, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat berupa: oksigen terlarut, suhu, pH, gerakan air, nitrat, fosfat, dan salinitas. Salinitas air akan mempengaruhi tekanan osmosis sel alga, tekanan ion, dan perubahan rasio ionik akibat permeabilitas membran;  sedangkan pH mempengaruhi kinerja enzim dalam metabolisme sel (Isnadiana dan Hermana, 2013). Gerakkan air mempengaruhi pertumbuhan algae karena mempengaruhi ketersediaan makanan, pertumbuhan epifit dan pengendapan. Faktor internal seperti jenis, bagian talus dan umur mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.
Beberapa spesies alga memiliki persen penutupan dan total persen penutupan yang sedikit dapat dikarenakan diambil oleh warga di daerah Pantai Porok. Di pantai ini, alga telah dimanfaatkan dan dijual sebagai oleholeh kripik lumput laut. Salah satu spesies yang sering dimanfaatkan untuk dijual adalah Enteromorpha sp. spesies ini maupun spesies lain baik yang ditemukan maupun tidak dalam praktikum ini memiliki persen penutupan rendah karena pemanen yang terus-menerus tanpa mengenal berhenti dan tidak melihat musim yang baik.
Makroalgae yang memiliki nilai ekonomi adalah Gracilaria, Sargassum dan Gellidium yang merupakan bahan agar. Pembuatan karagenan membutuhkan alga seperti Gigartina stellata, Eucheuma, Hypnea, Chondrococcus hornemannii, Halymenia venusta, Laurencia papillosa, Sarconema filiforme, dan Endocladia, Gelidium tertentu, Gymnogongrus, Rhodoglossum, Rissoella, Yatabella species dan Rumput laut Merah lainnya. Rumput laut sebagai bahan makanan seperti: Porphyra tenera (nori), Laminaria sp., dan sebagainya (Suparmi dan Sahri, 2009).
I.                    Kesimpulan
Makroalgae yang melimpah adalah Chaetomorpha sp. dan makroalgae banyak terdistribusi pada daerah bersusbtrat batu berpasir.
II.   Daftar Pustaka
Amalia, D. R. N. 2013. Efek Temperatur terhadapt Pertumbuhan Gracilaria verrucosa (Skripsi). Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.
Campbell,  N. A., J. B. Reece, L. A. Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman, P. V. Minorsky, & R. B. Jackson. 2010. Biologi. Erlangga. Jakarta. Hal. 154
Haryatfrehni, R., S. C. Dewi, A. Meilianda, S. Rahmawati, and I. Z. R. Sari. 2015. Preliminary Study the Potency of Macroalgae in Yogyakarta: Extraction and Analysis of Algal Pigments from Common Gunungkidul Seaweeds. Procedia Chemistry. 14(2015): 373-380.
Isnadina, D. R. M. Dan J. Hermana. 2013. Pengaruh Konsentrasi Bahan Organik, Salinitas, dan pH terhadapt Laju Pertumbuhan Alga. Seminar Nasional Pascasarjana XIII-ITS.
Kusumawardhani, A. D. 2008. Wilayah Intensitas Budidaya Rumput Laut di Pantai Karts Kabupaten Gunung Kidul (Skripsi). Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok.
Nurmiyati. 2013. Keragaman, Distribusi dan Nilai Penting Makro Alga
Di Pantai Sepanjang Gunung Kidul. Bioeduksi. 6(1):12-21.
Postlethwait, J. H. & J. L. Hopson. 2006. Modern biology. Holt, Rinehart and Winston. New York. P. 511-513
Stephani, W., G. W. Santosa, dan Sunaryo. 2014. Distribusi Makroalgae di Wilayah Intertidal Pantai Krakal, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Journal of Marine Research. 3(4):633-641.

Suparmi dan A. Sahri. 2009. Mengenal Potensi Rumput Laut: Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek Industri dan Kesehatan. Sultan Agung. XLIV (118): 95-116.

KULTIVASI MIKROALGA

KULTIVASI MIKROALGA
Menurut Chisti (2008) dalam Kawaroe, dkk. (2009) Chlorella merupakan salah satu mikroalga yang sering diteliti dan dimanfaatkan. Chlorella dapat dimanfaatkan dari sebagai makanan sampai mendukung persediaann energi terbarui. Chlorella sendiri merupakan salah satu anggota Chlorophyeceae yang telah digunakan sebagai pakan.
Chlorella sp. sebagai mikroalga yang banyak digunakan dalam berbagai bidang, dalam sebuah penelitian maupun pemanfaatannya membutuhkan stok. Stok Chlorella dibuat dengan menggunakan berbagai medium. Medium pertumbuhan Chlorella yang digunakan dari medium Walne, Guillard’s dan Erdschrelber. Media yang digunakan dalam pertumbuhan Chlorella yang berbeda akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda pula.
Secara umum mikroalga menggunakan cahaya dan karbondioksida sebagai sumber energi dan sumber karbon (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun). Pertumbuhan optimal mikroalga adalah pada suhu 15-30° C (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun).  Media pertumbuhan harus memiliki kandungan nutrien anorganik yang akan berfungsi dalam pembentukkan sel seperti: nitrogen, fosfor dan besi (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun).
Kultivasi merupakan salah satu proses bioteknologi mikroalga (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun). Kultivasi bertujuan memenuhi kebutuhan stok biomassa mikro alga (Kawaroe, dkk. 2009).  Metode kultivasi mikroalga secara umum terdapat 2 metode, yaitu: open raceway pond dan closed photobioreactor (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun). Sistem open pond memiliki kelemahan berupa kontaminasi, sedangkan photobioreactor memerlukan biaya yang banyak akan tetapi kontaminasi dan paramter pertumbuhan dapat diatur (Ariyanti dan Handayani, Tanpa tahun). Proses kultivasi melibatkan proses fotosintesis dan pertumbuhan (Kawaroe, dkk. 2009). Menurut Laves dan Sorgeloos (1996) dalam Kawaroe, dkk. (2009) proses kultivasi ini membutuhkan waktu penyinaran minimal 18 jam/hari agar kultur fitoplankton dapat berkembang normal dengan cahaya yang konstan (Kawaroe, dkk. 2009). 
Nutrien merupakan salah satu paramter penting dalam proses pertumbuhan mikro alga (Kawaroe, dkk. 2009). Menurut Healey (1973) dalam Kawaroe, dkk. (2009) defisiensi nutrien pada mikroalga berdampak pada penurunan protein, pigmen fotosintesis, kandungan lemak dan karbohidrat. Dalam proses kultivasi mikroalga, nutrien diberikan dalam konsentrasi berlebih dari pada yang tersedia di alam (Kawaroe, dkk. 2009).  Nutrien P dan N merupakan salah satu unsur makronutrien yang membatasi pertumbuhan mikroalga (Kawaroe, dkk. 2009).  
C. vulgaris merupakan anggota dari genus Chorella. Chorella telah banyak dikultur karena memiliki banyak potensi. Potensi Chorella sebagai, pakan, suplemen, penghasil farmasi dan kedokteran. Chorella memiliki protein, karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil serta serat tinggi. Chorella ditemukan pada lingkungan akuatik dapat berupa saline maupun tawar. Reproduksinya juga cepat dan mampu berkembang menjadi 10.000 sel hanya dalam waktu 24 jam (Prihantini, dkk. 2005).
Kultivasi mikroalga penting karena sangat berkontribsi dalam transisi untuk lebih sustainable society atau biobased economy. Mikroalga tumbuh baik menggunakan karbon dioksida dari gas flue, sampah residu perusahaan-industri, dan cairan pencernaan (Wolkers, et al., 2011).
Pada kurva sigmoid terdapat fase lag, fase log dan fase steady state (Edwin  et al., 2005). Pada fase lag pertumbuhan berjalan lambat (Edwin  et al., 2005). Fase lag ini terjadipada hari ke 0-2. Chorella pada fase lag mengalami sintesis protein baru akan tetapi pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat akibat mikroalga beradaptasi pada lingkungan barunya (Prabowo, 2009). Selain itu pada fase lag, terjadi sintesis enzim (Black, 2008). Fase log organisme telah beradapasi sehingga terjadi kenaikkan pertumbuhan secara cepat sehingga mikroalga mengalami peningkatan pembelahan sel (Black, 2008; Edwin  et al., 2005; Prabowo, 2009). Fase lag terjadi hari ke-3 sampai ke- 6 pada medium Walne dengan konsentrasi 3N; sednagkan pada konsentrasi 1N pada hari ke-4-5. Pada konsentrasi 1N seharusnya pada hari ke-3 telah memasukki fase log akan tetapi grafik menurun akibat  pengambilan sampel tidak digojog terlebih dahulu. Pengambilan sampel yang tidak digojog mengakibatkan sel Chorella yang berada dibawah tidak terambil serta konsentrasi sel tidak merata pada tabung. Pada hari ke-4 perlakuan konsentrasi 3N pun densitas sel menurun hal ini dapat terjadi karena pengambilan sampel yang terlupakan untuk digojog terlebih dahulu. Fase log merupakan fase yang paling baik untuk memanen mikroalga. Menurut Prabowo (2009) setelah fase log selanjutnya adalah fase penurunan laju pertumbuhan. Fase ini pertumbuhan yang terjadi menurun. Fase ini terjadi pada perlakuan konsentrasi 1N pada hari ke-6, sedangkan pada konsentrasi 3N terjadi pada hari ke 7.  Kemudian  fase steady state yang ditandai pertumbuhan telah menurun (Edwin  et al., 2005). Pada fase ini produksi sel baru sama dengan sel lama yang mati (Black, 2008). Fase kematian merupakan fase terakhir yang ditandai dengan laju kematian lebih tinggi dibandingkan dengan laju reproduksi sel. Penurunan kepadatan sel terjadi karena perubahan kondisi optimum seperti nutrien (Prabowo, 2009). Pada gambar 1.fase kematian belum dapat teramati dengan jelas. Masih terdapat pertumbuhan sel mikroalga walaupun sedikit. Fase kematian belum terjadi dapat karena nutrien dalam medium masih, sehingga mikroalga masih tumbuh.
Medium Walne yang digunakan sebagai media pertumbuhan Chorella memiliki komponen nutrien berupa NaNO3 100mg/L, Na2EDTA 45 mg/L, H3BO3 33,6 mg/L, NaH2PO4 mg/L, dan MnCl2 0,36 mg/L (Zahirm, 2011). Kandungan nitrogen dalam medium berfungsi sebagai bagian protein, asam nuklea, klorofil, koenzim, alkaloid dan ATP (Postlethwait & Hopson, 2006; Brooker et al., 2011). Fosfor ntuk pembentuk asam nukleat, ATP, fosfolipid dan koenzim (Postlethwait & Hopson, 2006). Kandungan nutrien P dan N inilah yang membatasi pertumbuhan mikroalga (Kawaroe, dkk. 2009). Mn dalam medium Walne diperlukan oleh untuk enzim dan kofaktor enzim (Postlethwait & Hopson, 2006;Brooker et al., 2011). Klor dibutuhkan untuk memecah air dalam proses fotosintesis (Postlethwait & Hopson, 2006).
Pertumbuhan Chorella dipengaruhi oleh faktor seperti: cahaya, CO2, H2O, nutrien dan trace element (Zahirm, 2011). Medium berpengaruh pada pertumbuhan karena salah satu perbedaan medium adalah kandungan nutriennya. Persediaan CO2 optimal akan memperlancar proses fotosintesis. Temperatur mempengaruhi metabolisme sel. Suhu yang tinggi akan mendenaturasi protein dan asam nukleat. Pertumbuhan yang paling baik adalah pada suhu 23-30°C. pH mempengaruhi pertumbuhan dengan cara mempengaruhi kinerja asam. pH yang baik untuk kulttur  7-8, karena itu EDTA penting dalam menstabilkan pH. 


daftar pustaka
Ariyanti, D. Dan N. A. Handayani. Tanpa Tahun. Mikroalga sebagai Sumber Biomassa Terbarukan: Teknik Kultivasi Pemanenan.  http://download.portalgaruda.org/article.php?article=21872&val=1275. Diakses pada 7 November 2016 pukul 17.36.
Black, J. B.  2008. Microbiology: Principles and Explorations. John Wiley and Sons. Hoboken, NJ. p. 149
Brooker, R. J., E. P. Widmaier, L. E. Graham, & P. D. Stiling. 2011. Biology. 2nd ed. McGraw-Hill. New York. p. 772
Edwin, R., T. Sekar, Sankar, and S. Munusamy. 2005. Botany Highter Secondary Second Year. Tamil Nadu Textbook Corporation. College Road, Chennai. P. 218
Kawaroe, M., T. Prartono, A. Sunuddin, D. W. Sari., dan D. Augustine. 2009. Laju Pertumbuhan Pesifik Chlorella sp. dan Dunaliella sp.
Berdasarkan Perbedaan Nutrien dan Fotoperiode. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 16(1):73-77.
Postlethwait, J. H. & J. L. Hopson. 2006. Modern biology. Holt, Rinehart and Winston. New York.
Prabowo, D. N. 2009. Optimasi Pengembangan Media untuk Pertumbuhan Chlorella sp. Pada Skala Laboratorium. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.  Bogor,
Prihanrini, N. B, B. Putri, dan R. Yuniati. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam medium Ekstrak Tauge (Met) dengan Variasi pH Awal. Makara, Sains. 9 (1):1-6.
Wolkers, H., M. Barbosa, D. M. M. Kleinegris, R. Bosma, and R. H. Wijffels. 2011. Microalgae: the Green Gold of the Future. Wageningen UR. Wageningen. P. 7,
Zahir, F. N. 2011. Peningkatan Produksi Biomassa Chlorella vulgaris dengan Perlakuan Mikrofiltrasi pada Sirkulasi Aliran Medium Kultur sebagai Bahan Baku Biodiesel. Skripsi. Departement Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Depok.